image

Sepi Ing Hoax

Tahun lalu, untuk pertama kalinya, Nyepi bebas dari internet. Tahun ini, tampaknya “hawa sakti” itu juga akan dipadamkan. Seperti biasa, kebijakan itu menuai pro-kontra. Masalahnya bukan setuju atau sebaliknya, menolak. Masing-masing argumentasi sudah kokoh dengan kepentingannya. Secara antropologis, yang perlu didalami apakah kebijakan ini telah memengaruhi kesadaran manusia untuk, misalnya berubah menjadi baik atau sebaliknya, makin merasa tersiksa. Bagaimanapun, internet sudah menjadi oksigen kedua yang menafasi hidup. Internet dipadamkan atau dinyalakan, dalam pandangan antropologi tetap bernilai sama. Tak ada kontroversi.

Pertanyaanya, apa yang hari ini aktivitas manusia tidak berbasis internet? Nyaris tak ada. Internet sudah menjadi perpanjangan indera manusia untuk melihat, mendengar, dan merasakan apa saja. Dari yang nyata hingga yang abstrak. Bahkan untuk hal-hal yang muskil di masa lalu, kini menjadi sesuatu yang teramat niscaya. Misalnya, dulu surat atau sebuah pesan dikirim dengan burung dara, lalu bertransformasi berturut-turut melalui pos, faximile, email, short message service (SMS), black berry messenger (BBM), Line, dlsb. Kini yang paling digemari dengan whatsapp (WA). Dalam waktu yang sama ke banyak nomor WA, satu pesan bisa diterima. WA juga adalah salah satu media sosial (medsos) paling efektif untuk membuat jaringan group.

Namun dengan medsos ini, perilaku manusia juga semakin absurd. Dunia nyata dengan dunia tak nyata tak selalu berkelindan. Irisan dua dunia ini lebih banyak menghasilkan sikap hipokrit. Misinformasi dan disinformasi juga bisa terjadi secara bolak-balik. Ketidakcermatan dalam menerima sebuah informasi hanya akan menghasilkan “sampah”. Jika sudah memunggungi kebenaran dan mencabik nalar publik, sampah itu akan segera menjadi hoax. Lalu, jika hoax itu menimbulkan perpecahan, konflik dan korban, ia harus diberangus. Lagi-lagi masalahnya adalah memberangus hoax itu juga tak semudah membalik telapak tangan.

“Patah satu tumbuh seribu”. Kira-kira begitu kesulitan Kemenkominfo yang pada 2018 berhasil menghapus sekitar 8000 situs atau web yang memproduksi hoax tiap hari. Esoknya sudah bermunculan web serupa, layaknya kanker yang sudah menjalar disetiap firanti medsos. Kini hoax bahkan sudah seperti bisnis baru untuk mengais untung. Makin meruyak akal sehat saat semburan hoax begitu menemukan momentumnya, salah satunya tahun politik 2019 ini.

Sayangnya, perilaku kita juga kadang menikmati situasi ini. Bad news is good news. Dan sikap permisif ini tidak menyumbang apa-apa untuk perbaikan hidup yang bersih dari kepulan pekat asap hoax. Akhirnya, hoax menjadi sesuatu yang ditanggapi biasa, bukan lagi luar biasa yang bisa “membunuh” jutaan jiwa yang kurang asupan berita valid dan informasi akurat. Jiwa-jiwa kering penghamba hoax seperti itu tak akan segera sembuh. Bahkan ketika momen Nyepi tiba.

Saat Nyepi tanpa internet, meme panca brata penyepian lalu viral dengan menambahkan brata amati internet, padahal catur brata penyepian belum juga maksimal dilakukan. Umat Hindu di beberapa tempat, di desa maupun di kota, masih belum disiplin dan tertib melaksanakan empat brata itu. Jalan-jalan ke luar rumah, meski tidak berpergian jauh masih ditemukan. Menyalakan lampu diam-diam, masih sering dilakukan. Menikmati hiburan, tetap jalan. Berdasarkan informasi sangat akurat, karena seorang mahasiswa sedang menuliskannya menjadi skripsi, sebuah kasus di sebuah desa, masyarakatnya malah metajen saat Nyepi. Kalau meceki, sudah sejak lama menjadi penghiburan yang lumrah. Di desa lainnya, malam Nyepi dipakai anak-anak mudanya mencari endih-endihan, sejenis liak. Duh.

Memadamkan internet saat Nyepi tentu akan terus menjadi perdebatan. Hikmah di setiap peristiwa itu tentu tetap ada. Misalnya, pertama, secara ekologi niraktivitas selama 24 bahkan mungkin 36 jam akan memberi sumbangan yang cukup signifikan terhadap semesta yang sudah kadung kotor dengan polusi. Kedua, manusia memiliki kesempatan besar untuk “mendiamkan” semua indranya lalu menghimpun energi besar untuk memulai kehidupannya yang baru. Ketiga, merefleksikan secara kontemplatif apa yang sudah dan akan dilakukan saat ngembak geni tiba. Dan keempat, dengan “amati internet”, Nyepi akan semakin sakral karena sepi dari sampah medsos: hoax.

Jika amati gni, lelungan, dan karya yang jika secara fisik dapat diukur, meskipun ketiga brata itu juga bermakna metafisik, amati lelanguan termasuk brata yang tidak kokoh bisa dilakukan manusia dengan keseimbangan yang sempuma. Ia seperti bandul yang tak pemah diam. Menikmati lelanguan yang ngelangenin sangat mungkin berada di alam pikir dan keinginan yang lalu diekspresikan secara fisik, sebagaimana kasus di atas: metajen, meceki, dan nguber endih-endihan.

Meskipun internet tidak padam saat Nyepi sekalipun, manusia Hindu seharusnya dapat menjalankannya dengan tetap sepi ing hoax. Untuk bisa memenangkan pertarungannya dengan bhuta, manusia membutuhkan kemampuan melebihi kekuatan bhuta. Godaan untuk tidak larut dalam lelanguan adalah ujian terbesar. Melewatinya adalah sebuah kemenangan paripurna. Dengan berseliwerannya hoax di medsos, manusia dihadapkan untuk mengasah keterampilannya untuk tertib sejak dalam pikiran dan niatnya. Nyepi justru menjadi pengadilan bagi manusia sehebat apa ia memiliki kesanggupan untuk “mempekerjakan” wiwekanya dalam menimbang mana hoax mana fakta.

Nyepi dengan atau tanpa internet tetap menjadi lapangan untuk menguji umat Hindu. Bagaimanapun, internet juga berwajah ganda. Jika baik memerahnya akan menghasilkan susu mumi yang bergizi, jika salah memerahnya akan mengalirkan susu basi yang membuat sakit kehidupan. Hoax adalah musuh bersama bagi pengguna medsos. Sepikan Nyepi dari hoax, sepikan pikiran dari hoax. Mari.

Oleh: I Nyoman Yoga Segara l Penulis Antropolog IHDN Denpasar
Source: Majalah Wartam Edisi 48 l Februari 2019

; }